Sabtu, 24 Desember 2011

RIYA’ DAN JENIS-JENISNYA

RIYA’ DAN JENIS-JENISNYA
Syaikh Husain bin ‘Audah Al-‘Awaisyah
(Diterjemahkan oleh Muslim Atsari)

IKHLAS UNTUK ALLAH TA’ALA*)*)[Kitab Al-Ikhlas, hlm. 9-10, karya syaikh Husain bin ‘Audah Al-‘Awaisyah]
Apakah syarat diterimanya amal?
Sebelum anda melangkah satu langkah –wahai saudaraku muslim- hendaklah anda mengetahui jalan yang merupakan keselamatanmu. Janganlah anda memberatimu dengan banyaknya amalan-amalan. Karena alangkah banyaknya orang yang memperbanyak amalan-amalan, namun hal itu tidak memberikan faedah kepadanya kecuali kecapaian darinya di dunia dan siksaan di akhirat. *)*) [Contoh hal ini adalah sabda Nabi n :
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ
Alangkah banyaknya orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan bagian dari puasanya kecuali lapar. Dan alangkah banyaknya orang yang shalat malam, namun dia tidak mendapatkan bagian dari shalat malamnya kecuali begadang. HR. Ibnu Majah, dari Abu Hurairah, dan dishahihkan oleh guru kami Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 3482]
Maka sebelum memulai semuanya, hendaklah anda mengetahui apakah syarat diterimanya amalan itu. Harus ada dua perkara penting dan besar yang harus ada pada setiap amalan, jika tidak, amalan tidak akan diterima:
Pertama: pelakunya meniatkan untuk wajah Allah Ta’ala.
Kedua: amalan itu mencocoki apa yang telah Allah syari’atkan di dalam kitabNya atau dijelaskan oleh RasulNya n di dalam Sunnahnya.
Jika salah satu dari dua syarat ini rusak, amalan itu bukanlah amalan yang shalih dan tidak akan diterima. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala:

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya". (QS. 18:110)

Di dalam ayat ini Allah memerintahkan agar amalan itu shalih, yaitu mencocoki syari’at, kemudian Allah memerintahkan agar pelakunya mengikhlaskannya untuk Allah, tidak mencari selaiNNya dengan amalan itu.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam tafsirnya: “Dua ini adalah rukun diterimanya amalan, yaitu amalan itu harus murni untuk Allah, benar di atas syari’at Rasulullah n . Dan diriwayatkan semisal ini dari Al-Qadhi ‘Iyadh t dan lainnya”. (Tafsir suart Al-Kahfi)

PERINTAH IKHLAS, LARANGAN RIYA’ DAN SYIRIK *)*)[Kitab Al-Ikhlas, hlm. 11-13, karya syaikh Husain bin ‘Audah Al-‘Awaisyah]
Ketahuilah –wahai saudaraku muslim- bahwa semua amalan pasti terjadi dengan niat, Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya semua amalan itu terjadi dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan. *)*)[Bagian sebuah hadits di dalam dua Kitab Shahih]

Dan harus mengikhlaskan niat untuk Allah Ta’ala berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala:
Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. 98:5)

Allah juga berfirman:
Katakanlah:"Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui". (QS. 3:29)

Allah juga telah memperingatkandari riya’, Dia berfirman:
"Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu.” (QS. 39:65)

Nabi n berkatapada waktu mengucapkan talbiyah haji:
اللهم حجة لا رياء فيها ولا سمعة
Wahai Allah, jadikanlah haji yang tidak ada riya’ dan sum’ah di dalamnya. *)*)[HR. Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi dengan sanad yang shahih]

Rasulullah n juga telah memperingatkan dengan sangat keras dari riya’.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
Dari Abu Hurairah z , dia berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda: “Sesungguhnya manusia pertama kali yag akan diputuskan (pengadilannya) pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid. Dia didatangkan, Allah menyebutkan nikmat-nikmatNya kepadanya dan dia mengakuinya. Allah bertanya: “Apa yang telah engkau lakukan pada nikmat-nikmatKu itu? Dia menjawab: “Aku berperang untukMu sehingga aku mati syahid”. Allah berkata: “Engkau dusta. Tetapi engkau berperang agar dikatakan ‘seorang pemberani’ dan dahulu (di dunia) telah dikatakan. Lalu diperintahkan mengenai orang tersebut, kemudian dia diseret di atas wajahnya, sehingga dilemparkan di dalam neraka.
Dan seorang laki-laki yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya. Dan dia membaca Al-Qur’an. Dia didatangkan, Allah menyebutkan nikmat-nikmatNya kepadanya dan dia mengakuinya. Allah bertanya: “Apa yang telah engkau lakukan pada nikmat-nikmatKu itu? Dia menjawab: “Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan aku membaca Al-Qur’an untukMu”. Allah berkata: “Engkau dusta. Tetapi engkau mempelajari ilmu agar dikatakan ‘seorang yang ‘aalim’, engkau membaca Al-Qur’an agar dikatakan ‘seorang qaari’’ dan dahulu (di dunia) telah dikatakan. Lalu diperintahkan mengenai orang tersebut, kemudian dia diseret di atas wajahnya, sehingga dilemparkan di dalam neraka.
Dan seorang laki-laki yang Allah luaskan rezekinya, dan Allah juga memberikan berbagai macam harta benda. Dia didatangkan, Allah menyebutkan nikmat-nikmatNya kepadanya dan dia mengakuinya. Allah bertanya: “Apa yang telah engkau lakukan pada nikmat-nikmatKu itu? Dia menjawab: “Aku tidak meninggalkan satu jalanpun yang Engkau menyuaki infaq padanya kecuali aku berinfaq padanya untukMu”. Allah berkata: “Engkau dusta. Tetapi engkau melakukannya agar dikatakan ‘seorang dermawan’ dan dahulu (di dunia) telah dikatakan. Lalu diperintahkan mengenai orang tersebut, kemudian dia diseret di atas wajahnya, sehingga dilemparkan di dalam neraka. *)*)[HR. Muslim, no. 1905]

Dan dari Abu Hurairah z , dia berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Allah Ta’ala berfirman: “Aku paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa beramal dengan suatu amalan, dia menyekutukan selain Aku bersamaKu pada amalan itu, Aku tinggalkan dia dan sekutunya. (HR. Muslim, no: 2985)

Dan Rasulullah n bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
Barangsiapa mempelajari ilmu yang dengannya dicari wajah Allah ‘Azza wa Jalla, namun dia tidak mempelajarinya kecuali untuk meraih kesenangan dunia dengan ilmu itu, dia tidak akan mendapati bau surga pada hari kiamat. *)*)[HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih]

RIYA’ DAN JENIS-JENISNYA*)*)[Kitab Al-Ikhlas, hlm. 63-67, karya syaikh Husain bin ‘Audah Al-‘Awaisyah]

Di antara jenis-jenis riya’ adalah: *)*)[Semua jenis ini kami nukilkan dari kitab Mukhtashar Minhajul Qashidiin, hlm. 223-225, dengan sedikit pengurangan dan pengeditan]
1-Riya’ yang berkaitan dengan badan.
Hal ini dengan menampakkan kekurusan dan kepucatan, agar -dengan itu- orang-orang melihat kesungguhan perjuangannya dan dominannya rasa takut terhadap akhirat. Dan mendekati hal ini adalah merendahkan suara, menjadikan dua mata menjadi cekung, menampakkan keloyoan badan, agar –dengan itu- menampakkan bahwa dia rajin berpuasa.

2-Riya’ dari sisi pakaian.
Seperti membiarkan bekas sujud pada wajah, mengenakan pakaian jenis tertentu yang biasa dikenakan oleh sekelompok orang yang masyarakat menilai mereka sebagai ulama’, maka dia mengenakan pakaian itu agar dikatakan sebagai seorang ‘alim.

3-Riya’ dengan perkataan
Ini –pada umumnya- adalah riya’nya orang-orang yang menjalankan agama. Yaitu dengan memberi nasehat, memberi peringatan, menghafalkan hadits-hadits dan riwayat-riwayat, dengan tujuan diskusi/perdebatan, menampakkan kelebihan ilmu, berdzikir dengan menggerakkan dua bibir di hadapan orang banyak, menampakkan kemarahan terhadap kemungkaran di hadapan manusia, membaca Al-Qur’an dengan merendahkan dan melembutkan suara, hal itu untuk menunjukkan rasa takut, sedih, dan khusyu’ (kepada Allah-pent).

4-Riya’ dengan perbuatan
Seperti riya’nya orang yang shalat dengan lamanya berdiri, memanjangkan ruku’ dan sujud, menampakkan kekhusyu’an, riya’ dengan memperlihatkan puasa, perang (jihad), haji, sodaqoh, dan semacamnya.

5-Riya’ dengan kawan-kawan dan tamu-tamu.
Seperti orang yang memberatkan dirinya meminta kunjungan seorang ‘alim (ahli ilmu) atau ‘abid (ahli ibadah), agar dikatakan: Sesungguhnya Si Fulan telah mengunjungi si Fulan. Dan seperti mengundang banyak orang untuk mengunjunginya, agar dikatakan: sesungguhnya orang-orang beragama sering mendatanginya.

Perkara yang disangka riya’ dan syirik, padahal bukan.

1-Pujian manusia untuk seseorang terhadap perbuatan baiknya.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنْ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ قَالَ تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ
Dari Abu Dzar, dia berkata: “Dikatakan kepada Rasulullah n , beritakan kepadaku tentang seseorang yang melakukan amalan kebaikan dan orang-orang memujinya padanya! Beliau bersabda: “Itu adalah kabar gembira yang segera bagi seorang mukmin”. (HR. Muslim, no. 2642-pent)

2-Giatnya seorang hamba melakukan ibadah pada saat dilihat oleh orang-orang yang beribadah.
Al-Maqdisi t berkata: “Terkadang seseorang bermalam bersama orang-orang yang melaksanakan shalat tahajjud, lalu mereka semua melakukan shalat pada mayoritas waktu malam itu, sedangkan kebiasaan orang itu melakukan shalat malam satu jam, lalu dia menyesuaikan dengan mereka. Atau mereka berpuasa, lalu diapun berpuasa. Seandainya bukan karena mereka semangat itu tidaklah muncul.
Mungkin ada orang yang menyangka bahwa itu adalah riya’, padahal tidaklah mutlak demikian. Bahkan padanya terdapat perincian: yaitu bahwa setiap mukmin menyukai beribadah kepada Allah Ta’ala, tetapi terkadang banyak penghalang yang menghalanginya, dan kelalaian menyeretnya, maka kemungkinan dia menyaksikan orang lain itu merupakan sebab hilangnya kelalaian tersebut…Kemudian dia dapat menguji urusannya itu, dengan cara dia menggambarkan orang-orang lain itu berada di suatu tempat yang dia dapat melihat mereka, namun mereka tidak dapat melihatnya. Jika dia lihat jiwanya dermawan/ringan melakukan ibadah, maka itu untuk Allah. Jika jiwanya tidak dermawan/ringan, maka keringanan jiwanya di hadapan orang banyak itu merupakan riya’. Dan bandingkan (perkara lainnya) dengan ini”. (Mukhtashar Minhajul Qashidiin, hlm. 234)
Aku katakan: “Kemalasan seseorang ketika sendirian datang dari bab sabda Nabi n :
فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
Sesungguhnya srigala itu hanyalah memakan kambing yang menyendiri.

Sedangkan semangatnya masuk ke dalam bab melaksanakan sabda beliau n :
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ
Hendaklah kamu menetapi jama’ah. *)*)[Nash haditsnya adalah:
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
Tidaklah tiga orang tinggal di sebuah desa atau padang pasir, shalat (jama’ah) tidak ditegakkan pada mereka kecuali mereka dikuasai oleh syaithan. Maka hendaklah kamu menetapi jama’ah,karena sesungguhnya srigala itu hanyalah memakan kambing yang menyendiri. (HR. Abu Dawud, dihasankan Al-Albani-pent)

3-Membaguskan dan memperindah pakaian, sandal, dan semacamnya.
Di dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Mas'ud z , dari Nabi n , beliau bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Tidak akan masuk sorga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi. Seorang laki-laki bertanya: "Ada seseorang suka bajunya bagus dan sandalnya bagus (apakah termasuk kesombongan?) Beliau menjawab: "Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia". (HR. Muslim, no. 2749-pent)

4-Tidak menceritakan dosa-dosanya dan menyembunyikan.
Ini merupakan kewajiban menurut syari’at atas setiap muslim, tidak boleh menceritakan kemaksiatan-kemaksiatan berdasarkan sabda Nabi n :
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
Semua umatku akan diampuni (atau: tidak boleh dighibah) kecuali orang yang melakukan kemasiatan dengan terang-terangan. Dan sesungguhnya termasuk melakukan kemasiatan dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan perbuatan (kemaksiatan) pada waktu malam dan Allah telah menutupinya (yaitu tidak ada orang yang mengetahuinya-pent), lalu ketika pagi dia mengatakan: “Hai Fulan, kemarin aku melakukan ini dan itu”. Padahal di waktu malam Allah telah menutupinya, namun ketika masuk waktu pagi dia membuka tirai Allah terhadapnya”. (HR. Bukhari, no. 6069; Muslim, no. 2990-pent)

Menceritakan dosa-dosa memiliki banyak kerusakan-kerusakan, bukan di sini perinciannya. Di antaranya, mendorong untuk berbuat maksiat di tengah-tengah hamba dan menyepelekan perintah-perintah Allah Ta’ala. Barangsiapa menyangka, menyembunyikan dosa-dosa merupakan riya’, dan menceritakan dosa-dosa merupakan keikhlasan, maka orang itu telah dirancukan oleh syaithan. Kita berlindung kepada Allah darinya.

5-Seorang hamba yang meraih ketenaran dengan tanpa mencarinya.
Al-Maqdisi berkata: “Yang tercela adalah seseorang mencari ketenaran. Adapun adanya ketenaran dari sisi Allah Ta’ala dengan tanpa usaha manusia mencarinya maka itu tidak tercela. Namun adanya ketenaran itu merupakan cobaan terhadap orang-orang yang lemah (imannya-pent)”. (Mukhtashar Minhajul Qashidiin, hlm. 218)
Al-hamdulillahi rabbil ‘alamiin.

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template